ABSTRAK
Wayang
merupakan suatu kesenian klasik yang
adiluhung, yang mempunyai berbagai jenis dan telah mengalami berbagai
perkembangan dalam keberadaanya. Wayang mengandung isi yang tinggi nilai
falsafahnya serta sifat-sifat rohaniah dan religiusnya. Budaya mencerminkan
”identitas dan jati diri bangsa”. Jadi sangatlah tepat jika seni budaya wayang
kulit merupakan salah satu unsur budaya bangsa Indonesia, maka tidak salah
jika UNESCO telah mengakui wayang
sebagai ”Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity”. Wayang
merupakan salah satu katrakteristik bangsa Indonesia yang harus selalu
dilestarikan agar dapat terus dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu para generasi muda hendaknya
ditanamkan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam wayang, baik berupa falsafah
dalam cerita maupun nilai seni rupa dalam bentuk wayang itu sendiri. Dan wayang
sendiri merupakan salah satu budaya yang ditujukan pada masyarakat serta
generasi muda Indonesia agar lebih mengerti nilai luhur, agung serta kearifan
lokal dibaliknya.
Latar
Belakang
Wayang
adalah salah satu kesenian yang telah ada di Indonesia sejak ajaran Hindhu
masih tersebar di seluruh Nusantara. Wayang sendiri mengambil tokoh-tokoh dewa
maupun ksatria yang ada dalam agama Hindhu dari India. Petunjukan wayang sampai
pada hari ini sudah berumur lebih dari 3000 tahun atau konkritnya pertunjukan
wayang ini sudah berumur 3512 tahun
yaitu (±1500 SM – 2012). Walaupun pertunjukan wayang sudah berumur lebih dari
3000 tahun, namun masih tetap digemari dan tetap mendarah daging bagi bangsa
Indonesia terutama di suku jawa. Wayang adalah seni pertunjukkan asli Indonesia
yang berkembang pesat di Pulau Jawa dan Bali. Bahkan UNESCO sebagai lembaga
yang membawahi kebudayaan dari PBB, pada 7 November 2003 menetapkan wayang
sebagai pertunjukkan bayangan boneka tersohor dari Indonesia, sebuah warisan
mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).
Sebenarnya, pertunjukan boneka tak hanya ada di Indonesia. Banyak negara
memiliki pertunjukkan boneka. Namun, pertunjukkan bayangan boneka (Wayang) di
Indonesia memiliki gaya tutur dan keunikkan tersendiri, yang merupakan
mahakarya asli dari Indonesia. Dan untuk itulah UNESCO memasukannya ke dalam
Daftar Warisan Dunia pada tahun 2003.
Wayang adalah seni dekoratif yang
merupakan ekspresi kebudayaan nasional. Disamping merupakan ekspresi kebudayaan
nasional juga merupakan media pendidikan, media informasi dan media hiburan.
Wayang merupakan media pendidikan, karena ditinjau dari segi isinya banyak
memberikan ajaran-ajaran kepada manusia sebagai anggota masyarakat. Jadi peran
wayang dalam pendidikan yaitu terutama dalam pendididkan budi pekerti besar
sekali gunanya. Sehingga wayang perlu dilestarikan dan dikembangakan lagi
terutama wayang purwa. Wayang sebagai media hiburan, karena wayang dipakai
sebagai pertunjukan di dalam berbagai macam keperluan sebagai hiburan. Selain
dihibur para peminatdibudayakan dan diperkaya secara spiritual. Wayang sebagai
media informasi, karena dari segi penampilannya sangat komunikatif dalam
masyarakat. Dapat dipakai untuk memahami suatu tradisi, dapat dipakai sebagai
alat untuk mengadakan pendekatan dengan masyarakat serta memberikan informasi
mengenai masalah-masalah kehidupan dan segala seluk-beluknya.
Wayang dapat dipakai sebagai sarana
pendidikan terutama pendidikan mental karena di dalamnya benyak tersirat unsur -
unsur pendidikan mental dan watak. Untuk membangun manusia seutuhnya,
pembangunan mental adalah penting sekali. Oleh karena itu pengenalan nilai
wayang terutama wayang purwa yang banyak orang mengatakan adalah kesenian
klasik yang Adi luhung, perlu
digalakan.”Mengapa wayang yang sudah lebih dari 3000 tahun masih tetap mendarah
daging, digemari dan dhayati serta dijunjung tinggi oleh masyarakat?”.Jawabnya,
karena pertunjukan wayang itu berisi hal-hal yang diperlukan dalam kehidupan
manusia.. Baik dalam lapangan mental (batiniah) ataupun dalam lapangan mental
(bathiniah). Gagasan tentang wayang telah ada sebelum kebudayaan Hindu masuk
kejawa. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa wayang merupakan ciptaan asli orang
Jawa. Dasar penciptaanya adalah kepercayann terhadap kekuatan gaib yang datang
dari roh nenek moyang. Kepercayaan seperti itu disebut kepercayaan animisme.
Namun
saat ini untuk pertunjukan wayang sendiri memang mengalami kemrosotan dalam hal
penggemar oleh masyarakat kita terutama kaum muda, hal tersebut dikarena banyak
pilihan hiburan lain. Mungkin wayang kulit mereka anggap membosankan. Seolah
wayang kulit sudah memasuki masa sekarat. Sehingga wayang sebagai salah satu
karakteristik bangsa Indonesia perlu dilestarikan agar tidak hilang terkena
pengaruh perubahan zaman yang kian modern. Karena saat ini tak banyak lagi yang
menggandrungi kesenian tradisional ini. Terlebih melestarikannya dengan
mempelajari kesenian yang wayang ini. Yang menjadi pertanyaan apakah pengakuan
atas warisan budaya ini bangsa Indonesia terutama generasi mudanya sendiri mengerti
apa itu wayang dan filosofi dibaliknya? Padahal wayang merupakan salah satu
budaya yang ditujukan pada masyarakat serta generasi muda Indonesia agar lebih
mengerti nilai luhur, agung serta kearifan lokal dibaliknya.
Pembahasan
A.
Pengertian
Wayang
Dalam
Kamus Bahasa Indonesia, pengertian wayang yaitu wayang merupakan boneka tiruan
orang yg terbuat dari pahatan kulit atau
kayu dan sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh. Kata
wayang (bahasa Jawa), bervariasi dengan kata bayang, yang berarti bayangan,
seperti halnya kata watu dan batu, yang berarti batu dan kata wuri dan buri,
yang berarti belakang. Pengertian bayang-bayang/bayangan yang lain untuk
menerangkan kata dan makna wayang itu dalam bahasa Jawa yang disebut sebagai
ayang-ayang. Misalnya seseorang yang sedang berdiri atau duduk di suatu tempat,
kemudian ia diterpa cahaya matahari yang mengenai badan orang itu, maka orang
itu menghasilkan bayangan. Bayangan inilah yang kemudian oleh orang Jawa sering
dinamakan ayang-ayang. Tentu saja panjang-pendeknya ayang-ayang tersebut sangat
bergantung pada sudut posisi matahari. Apabila matahari dalam posisi rendah,
maka bayangan orang itu menjadi panjang, dan apabila sudut matahari tinggi,
bayangan semakin pendek.
Pengertian-pengertian
wayang di atas lebih beroriantasi pada seni pertunjukan yang
memperhatikan/menekankan pada efek yang dihasilkan pada suatu boneka atau
sejenisnya setelah benda tersebut dikenal/disorot dengan cahaya yang datangnya
dari sebuah lampu (blencong), yang kemudian menghasilkan suatu bayangan. Dari
bayangan yang dihasilkan itu kemudian ditangkap oleh sekat, layar(kelir), yang
akhirnya menghasilkan bayangan lagi di bagian belakang layar (dibalik kelir).
Bila demikian maka terdapat dua bagian bayangan; yang pertama, bayangan di
depan layar terjadi apabila boneka tersebut digerakkan menjauhi layar dan
mendekati blencong, maka bayangan akan membesar baik didepan atau di belakang
layar.
Disisi
lain wayang merupakan seni dekoratif yang merupakan ekspresi kebudayaan
nasional. Disamping merupakan ekspresi kebudayaan nasional juga merupakan media
pendidikan, media informasi dan media hiburan. Wayang merupakan media
pendidikan, karena ditinjau dari segi isinya banyak memberikan ajaran-ajaran
kepada manusia sebagai anggota masyarakat. Jadi peran wayang dalam pendidikan
yaitu terutama dalam pendididkan budi pekerti besar sekali gunanya. Sehingga
wayang perlu dilestarikan dan dikembangakan lagi terutama wayang purwa. Wayang
sebagai media hiburan, kerena wayang dipakai sebagai pertunjukan di dalam
berbagai macam keperluan sebagai hiburan. Selain dihibur para peminatdibudayakan
dan diperkaya secara spiritual. Wayang sebagai media informasi, karena dari
segi penampilannya sangat komunikatif dalam masyarakat. Dapat dipakai untuk
memahami suatu tradisi, dapat dipakai sebagai alat untuk mengadakan pendekatan
dengan masyarakat serta memberikan informasi mengenai masalah-masalah kehidupan
dan segala seluk-beluknya.
Secara fisik
dunia pewayangan dilengkapi dengan layar (kelir) yang diibaratkan sebagai ruang
(atara bumi dan langit), batang pisang (dhebog)
sebagai bumi (tanah), dan lampu sebagai sinar matahari. Dalam dunia pewayangan
pemrakarsanya disebut ”Ki Dalang”, sedangkan penata dan penabuh gamelan (musik)
disebut niaga. Ki dalang memiliki makna seseorang yang mampu ngudal
(telaah) piwulang (keilmuan), yaitu mengungkap pengetahuan, kisah-kisah
dalam andegan lakon (ceritera) wayang.
B.
Jenis
dan Perkembangan Wayang
Jenis wayang
di Indonesia ada berbagai macam diantaranya yaitu wayang beber, wayang purwa,
wayang madya, wayang gedog, wayang menak, wayang babad, wayang modern dan
wayang topeng.Wayang Beber merupakan wayang yang paling tua usianya yang
berasal dari zaman Hindu di Jawa. Pertunjukan wayang beber dilakukan dengan
pembacaan cerita dan peragaan gambar-gambar yang melukiskan kejadian - kejadian
atau adegan penting dalam cerita yang dimaksud yang terlukis pada kertas. Dan
pada gulungan kertas tersebut menunjukan isi dari cerita yang akan dipentaskan.
Pada saat ini pertunjukan wayang beber dapat dikatakan telah punah, karena
lukisan mengenai wayang tersebut sudah tidak dibuat lagi sedang dalang-dalang
untuk pementasannya sudah tidak diproduksi lagi. Wayang purwa ialah pertunjukan
wayang yang pementasan ceritanya bersumber pada kitab Mahabharata atau
Ramayana. Wayang purwa ini dapat berupa wayang kulit, wayang golek atau wayang
wong (orang). Para ahli berpendapat bahwa istila purwa berasal dari kata”parwa”
yang artinya bagian dari cerita Mahabharata atau Ramayana. Namun dikalangan
masyarakat jawa terutama orang tua purwa sering diartikan purba atau zaman
dahulu.
Wayang Madya
yaitu wayang yang muncul setelah wayang purwa yang diciptakan atas gagasan Sri
Mangkunegoro yang menggambarkan wayang
purwa pada badan-tengah sedang dari badan-tengah kebawah berwujud wayang gedog.
Wayang ini memakai keris dan dibuat dari kulit, ditatah dan disungging. Dicipta
pada waktu Pangeran Adipati Mangkunegoro IV (1843-1881) dan berusaha
menggabungkan semua jenis wayang yang ada menjadi satu kesatuan yang berangkai
serta semua disesuaikan dengan sejarah Jawa sejak beberapa abad yang lalu
sampai masuknya agama Islam di Jawa yang diolah secara kronologis. Kemudian
Wayang Gedog yang oleh sarjana-sarjana barat ditafsirkan sebagai kandang kuda
(bahasa Jawa: gedogan = Kandang Kuda). Penafsiran lain ialah bahwa kata gedog
tersebut merupakan batas antra siklus wayang Purwa yang mengambil seri cerita
Mahabharata dan Ramayana dengan siklus Panji. Selain wayang Purwa, Madya dan
Gedog, seniman-seniman Indonesia (Jawa) menciptakan berbagai wayang baru yang
pementasannya bersumber pada cerita-cerita babad(sejarah) setelah masuknya
agama Islam di Indonesia antara lain kisah-kisah kepahlawanan dalam masa
Kerajaan Demak dan Pajang. Wayang-wayang tersebut disebut wayang babad atau
wayang sejarah. Dan Pada Zaman Demak, Sunan Kalijaga menciptakab topeng yang
mirip dengan wayang Purwa. Topeng tersebut diciptakan pada tahun 1586 (1508
Caka, dengan sengkalan: hangesti sirna
yakseng bawana) yang hingga kini masih tersebar luas dan berkembang sebagai
seni budaya tradisional dengan corak tersendiri. Penampilan wayang topeng ini
dilakukan bersama dengan pentas wayang Purwa maupun Gedog, sehingga pertunjukan
itu dikenal sebagai wayang topeng atau dengan sebutan daerah dimana topeng
tersebut berkembang sepert Topeng Losari, Topeng Malang atau Topeng Madura.
Perkembangan
wayang biasa disusun berdasarkan suatu periodisasi. Berdasarkan Sumber karangan
Mulyono (1978: 296-306) perkembangan wayang di Indonesia dibagi menjadi 5. Yang
pertama zaman prasejarah bahwa pertunjukan wayang yang mula-mula berfungsi
magis-mitos-religius, sebagai upacara pemujaan pada arwah nenek moyang yang
disebut “hyang”. Kedatangan arwah
nenek moyang ini diwujudkan dalam bentuk bayangan, dan mereka datang oleh
karena diminta memberikan restu atau pertolongan. Pada zaman ini belum terdapat
kepustakaan wayang sehingga cerita secara lisan diturunkan dari generasi ke
generasi. Kedua zaman Mataram I yang pada zaman ini tidak hanya berfungsi
magis-mitos-religius, tetapi juga sebagai alat pendidikan dan komunikasi.
Cerita diambil dari “Ramayana” dan “Mahabharata” yang sudah diberi sifat local
dan bercampur mitos kuno tradhisional (pahlawan-pahlawan dalam kitab-kitab itu
menjadi pahlawan-pahlawan dan dewa-dewa mereka, sejajar dengan nenek moyang
mereka sendiri).
Ketiga yaitu pada zaman Jawa Timur yang pada
zaman ini sudah mencapai bentuk
sempurna, sehingga dapat mengharukan hati para penontonnya. Pertunjukan wayang
pada zaman ini dilakukkan pada malam hari dirumah-rumah atau tempat yang
dianggap keramat oleh seorang sakti, kepala keluarga, atau kadang raja sendiri.
Bahasa yang digunakan Bahasa Jawa Kuno dengan kata-kata Sanskerta. Yang keempat
zaman kedatangan Islam, yaitu wayang berfungsi sebagai alat dakwah, pendidikan
dan komunikasi, sumber sastra dan budaya dan sebagai hiburan. Cerita diambil
dari cerita Babad, yakni percampur adukan antara epos Ramayana/Mahabharata
versi Indonesia dengan cerita-cerita Islam atau Arab. Wayang berbentuk pipih
menyerupai bentuk bayangan seperti yang kita lihat sekarang. Pertunjukan
dipimpin oleh seorang dalang dan pertunjukan dilakukkan pada saat malam hari
selama semalam penuh dengan bahasa Jawa Tengahan.
Yang terakhir
yaitu pada zaman Indonesia Merdeka, yang pada zaman ini wayang merupakan suatu
pertunjukan kesenian. Suatu seni teater total yang berfungsi tidak hanya
sebagai hiburan semata tetapi juga untuk pendidikan, komunikasi massa,
pendidikan kesenian, pendidikan sastra, filsafat, agama dan lain-lainnya. Dan
pada zaman ini wayang-wayang baru mulai dipertunjukan seperti wayang Suluh,
Pancasila dan perjuangan (±1947), wayang wahyu (±1969), wayang berbahasa
Indonesia dan lain-lain.
C.
Nilai Kearifan Lokal Dalam Wayang
Seni
pewayangan merupakan salah satu seni budaya bangsa yang adiluhung, dimasa
keemasannya media wayang ini menjadi corong untuk menginformasikan dan
mensosialisasikan banyak hal yang berhubungan dengan masalah tata laku
kehidupan yang terjadi pada eranya masing-masing. Pepatah bahwa kuncaraning
bangsa gumantung ana kaluhuring budaya, kini memiliki makna strategis karena
budaya mencerminkan ”identitas dan jatidiri bangsa”. Jadi sangatlah tepat bahwa
seni budaya wayang kulit yang merupakan salah satu unsur budaya bangsa
Indonesia, telah diakui oleh UNESCO sebagai ”Masterpiece of Oral and Intangible
Heritage of Humanity”. Wayang merupakan salah satu karakteristik bangsa
Indonesia yang harus selalu dilestarikan agar dapat terus dinikmati oleh
seluruh rakyat Indonesia.
Filosofi
(filsafat) wayang, sastra dan negara secara umum sering diartikan sebagai
pemahaman makna dunia pewayangan yang sangat mendalam, serta memiliki latar
belakang realitas arti hidup dan kehidupan dalam dunia pewayangan. Filsafat
dunia pewayangan dapat ditemukan di 3 lapisan yaitu: (a) ajaran, (b) sosok dan
karakter tokoh, serta (c) keyakinan dan pandangan-pandangannya. Ajaran-ajaran
dan atau wejangan merupakan tatanan khas jawa yang spesifik untuk menyampaikan
amanah dan petuah yang sekaligus memuat kebijaksanaan eksistensi manusia.
Karakter dan kekuatan sosok dalam dunia pewayangan cukup beragam seperti
Pandawa, Kurawa, Pancawati dan Ngalengkadireja. Demikian halnya dengan peran punakawan
seperti Semar dan atau Togog. Berbeda halnya dengan pemahaman makna keyakinan
dan pandangan dalam dunia pewayangan yang pada akhirnya diperolehnya istilah ”becik
ketitik ala ketara; sapa gawe bakal nganggo”. Selain itu wayang juga dapat
dipakai sebagai sarana pendidikan terutama pendidikan mental karena di dalamnya
benyak tersirat unsure - unsur pendidikan mental dan watak. Untuk membangun
manusia seutuhnya, pembangunan mental merupakan salah satu masalah utama. Oleh
karena itu pengenalan nilai wayang terutama wayang purwa yang banyak orang
mengatakan adalah kesenian klasik yang Adi
luhung, perlu digalakan. Karena itu, dapat digunakan sebagai salah satu
media dalam upaya untuk mengubah tingkah laku atau sikap seseorang dalam rangka
mendewasakan manusia. Cerita wayang bukan saja merupakan salah satu sumber
pencarian nilai-nilai bagi kelangsungan hidup masyarakat, namun juga sebagai
wahana atau alat pendidikan. Sebagai alat pendidikan, wayang menawarkan ajaran
dan nilai-nilai yang tidak secara dogmatis sebagai indotrinasi. Terserah
penikmat menafsirkan, menilai, dan memilih nilai-nilai itu. Karena itu, satu
sisi tokoh Kumbakarna bisa dinilai sebagai pengkhianat karena berpihak kepada
Rahwana kakak kandungnya yang menculik Dewi Sinta, namun di sisi lain dia bisa
dinilai sebagai pahlawan karena jiwa patriotiknya membela Tanah Airnya. Ajaran
dan nilai-nilai tersebut juga dihadirkan melalui tokoh-tokoh tertentu seperti
Bambang Sumantri yang patriotik, atau Puntadewa yang ,ukhlis, dan Dewi Sembadra
yang feminis.
Karena cerita
wayang merupakan wahana atau alat pendidikan, wayang merupakan wahana bagi
proses sosialisasi ataupun enkulturasi. Bahkan dengan proses sosialisasi,
wayang mengemban fungsi edukatif mempersiapkan anggota masyarakat agar mampu
memainkan peran-peran sosial sesuai dengan pilihan hidupnya, dengan jalan
mengembangkan sikap mental, menanamkan nilai-nilai dan kemampuan mengendalikan
diri, dan memberikan orientasi pemahaman. Wayang merupakan salah satu wahana
untuk mendewasakan manusia secara sosial (maturasi), sebagaimana yang
diharapkan oleh Begawan Abiyasa kepada para Pandawa lewat adegan wejangan-nya.
Karena itu, cerita wayang merupakan cerita didaktik yang didalamnya memuat
ajaran budi pekerti yang menyiratkan tentang perihal moral. Bidang yang
bersifat normatif, yang bersangkutan dengan kesusilaan atau akhlak yang
merupakan salah satu bidang filsafat yang disebut “etika”, dalam hal ini etika
memberi nilai buruk atau baik atas perbuatan seseorang.
Wayang
diartikan sebagai bayang (bayangan), sehingga memiliki dua makna yaitu: (a)
bayangan yang ditonton (dilihat dari belakang layar), dan (b) melihat bayangan
perilaku kehidupan manusia yang memberikan pemahaman antara perilaku yang baik
dan buruk. Kedua perilaku tersebut secara fisik (bentuk dan norma wayang) juga
terlihat secara jelas. Kemudian melalui penggambaran muka wayang ada yang
berwarna hitam, merah, dan atau hijau keungguan. Muka wayang berwarna hitam
menunjukkan seorang kesatria yang memiliki kemantapan diri sebagai panutan (kesatria),
berbeda dengan muka wayang berwarna merah menunjukkan seorang yang memiliki
panutan sebagai punggawa atau manggala. Selain muka wayang, ciri spesifik
wayang juga ditandai oleh lengan wayang. Ada wayang yang lengannya (tangan) dua
(normal), ada wayang dengan dua tangan, akan tetapi satu tangannya masuk ke
dalam saku (bala buta), dan seterusnya, yang mencirikan makna yang berbeda.
Dari wayang sendiri, kita dapat melihat
struktur sikap, kata, dan perbuatan seseorang, jujur dan tidak jujur, lugu dan tidak lugu, baik dan tidak baik, dengki dan iri dan tidak iri yang seluruhnya
dapat dibaca dengan jelas lewat sikap, kata, dan perbuatannya. Dalam hal
pengajaran nilai-nilai, wayang juga berfungsi dalam menanamkan budi luhur
kepada para penonton maupun masyarakat sebagai penikmat wayang. Sedangkan budi
luhur adalah nilai-nilai luhur yang tercipta dari cipta rasa karsa seseorang.
Ia karena masih berupa nilai jadi lebih merupakan sekumpulan nilai-nilai
tertentu, belum dioperasionalkan kedalam kenyataan hidup. Nilai-nilai itu bisa
bersumber dari kitab-kitan suci, kitab-kitab piwulang, kitab-kitab ideologi,
temuan sendiri dsb, yang ditata rapi dalam struktur yang indah. Untuk
dipekertikan dalam kehidupan nyata atau untuk dijadikan budi pekerti dibutuhkan
latihan-latihan, teori dan praktek dengan kata lain budi luhur masih terletak
diawang-awang, sedangkan budi pekerti telah dioperasionalkan dalam kenyataan
hidup sehari-hari.
Dalam dunia pewayangan sendiri terdapat
tokoh-tokoh khususnya dari Pandawa yang memberikan keteladanan dibidang tata kelakuan
hidup. Laku hidup sebagaimana dicontohkan oleh tokoh-tokoh Pandawa lebih
mencerminkan tokoh-tokoh yang mengutamakan laku hidup yang berakhir dengan
pencapaian keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia bahkan di
akhirat. Tidak terbilang banyaknya contoh-contoh laku hidup yang dijalankan,
perintah Durna yang penuh tipu muslihat, akhirnya Bima tanpa diduga justru
berhasil menemukan Tirta Pawitrasari (Tirta Pawitradi atau Tirta
Merta), yaitu ilmu hidup yang menerangkan tentang cara memanunggalkan diri
atau mendekatkan diri dengan Tuhannya.
Oleh karena budi itu pekerti yang terdapat
atau disampaikan dalam wayang harus dijalankan dan dihayati, karena penghayatan
dalam hal penanaman budi pekerti merupakan satu hal utama dalam upaya penerapan
hal tersebut. Banyak orang yang tekun melaksanakan budi pekerti tanpa ingin
diketahui orang lain apalagi pamer. Orang-orang seperti itu terdapat umumnya
justru di desa-desa atau kalaupun di kota-kota orang-orang seperti itu lebih
bersikap diam dalam pengertian menikmati dan menjalankan hidup dengan sepenuh
hati. Karena dalam masyarakat desa sendiri masih memiliki nilai-nilai adat yang
mereka pegang teguh sehingga tidak mudah terkontaminasi oleh pengaruh luar. Mereka
dalam kesulitan ekonomi yang begitu dahsyat seperti sekarang selalu berusaha
untuk menjalankan penghidupannya dengan apa adanya sdan selalu memohon kepada
Tuhan yang Maha Esa dengan pemahaman jangan sampai langkah-langkah hidupnya
terkontaminasi dengan pemikiran-pemikiran yang tidak baik, misalnya antara
lain, menipu, mencuri dsb. Ajaran Malima
(tidak main, berjudi, tidak maling (mencuri), tidak madat
(narkoba, narkotik dsb), tidak madon (main perempuan), dan tidak minum
(minum-minuman keras) secara tidak langsung hal tersebut haruslah dihayati
dengan kesadaran penuh. Yang dalam hal ini tokoh pandawa merupakan tokoh yang
pantas dan patuh diteladhani dalam berperilaku maupun bertutur kata dalam
masyarakat. Karena dalam tokoh pandawa yang dilakonkan dalam wayang selalu
menunjukan perilaku baik, berani membela kebenaran, jujur dan dalam bertutur
kata selalu sopan dan halus serta tidak pernah menyakiti orang lain dari
ucapannya.
Maka dalam hal ini wayang sangat berfungsi
dalam proses sosialisasi yang ada dalam masyarakat. Yaitu dalam proses
mengajarkan nilai dan norma yang ada dalam masyarakat dalam bentuk pagelaran
yang berisi cerita. Dan dalam nilai dan norma yang ada dalam pagelaran wayang
selalu menggambarkan nilai dan norma yang dijunjung tinggi dalam masyarakat
Indonesia. Dalam pagelaran wayang juga digambarkan bahwa perilaku yang buruk
atau jahat tidak akan mendapat sesuatu yang baik dan tokoh jahat akan selau
kalah. Oleh karena itu wayang yang lewat tokoh-tokoh didalamnya dapat memberi
contoh perilaku langsung tentang mana yang baik dan mana yang buruk, mana sikap
yang pantas ditiru atau tidak pantas ditiru dari tokoh-tokoh tersebut. Semuanya
tertuang dalam satu pementasan wayang. Dengan demikian maka dapat dipahami,
bahwa kearifan lokal yang merupakan gagasan-gagasan atau nilai-nilai,
pandangan-padangan setempat atau (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh
kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya
tertuang dalam suatu prosesi atau dalam suatu pementasan pewayangan. Dan di sini
nilai-nilai budi pekerti dalam berperilaku maupun bertutur kata yang
diconntohkan melalui tokoh dalam pewayangan harus dijalankan dan dihayati oleh
masyarakat Indonesia khususnya di Jawa. Karena nilai yang terkandung dalam
wayang ini merupakan nilai luhur yang telah diturunkan secara turun temurun
oleh para pendahulu kita dan merupakan nilai-nilai asli masyarakat jawa.
Sehingga wayang harus dilestarikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia agar
nilai budaya maupun nilai-nilai kehidupan yang ada dalam wayang tidak hilang
dan luntur akibat modernisasi dan globalisasi pada jaman sekarang ini.
Kesimpulan
Dari uraian
diatas, dapat disimpulkan bahwa wayang itu da berbagai jenis seperti yaitu wayang
beber, wayang purwa, wayang madya, wayang gedog, wayang menak, wayang babad,
wayang modern dan wayang topeng yang
semuanya itu beserta pagelarannya diciptakan oleh bangsa Indonesia di jawa pada
zaman prasejarah. Semula bangsa Indonesia masih berpahan animism yang mula-mula
berfungsi magis-mitos-religius, sebagai upacara pemujaan pada arwah nenek
moyang yang disebut “hyang”.
Kedatangan arwah nenek moyang ini diwujudkan dalam bentuk bayangan, dan mereka
datang oleh karena diminta memberikan restu atau pertolongan. Namun Sekarang
ini fungsi wayang telah berubah taitu sebagai hiburan,sarana pendidikan,
komunikasi massa, pendidikan kesenian, pendidikan sastra, filsafat, agama dan
lain-lainnya.
Wayang
merupakan suatu kesenian klasik yang
adiluhung, karena mengandung isi yang tinggi nilai falsafahnya serta
sifat-sifat rohaniah dan religiusnya. Budaya mencerminkan ”identitas dan
jatidiri bangsa”. Jadi sangatlah tepat jika seni budaya wayang kulit merupakan
salah satu unsur budaya bangsa Indonesia, maka tidak salah jika UNESCO
telah mengakui wayang sebagai ”Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of
Humanity”. Wayang merupakan salah satu katrakteristik bangsa Indonesia
yang harus selalu dilestarikan agar dapat terus dinikmati oleh seluruh rakyat
Indonesia. Oleh karena itu para
generasi muda hendaknya ditanamkan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam
wayang, baik berupa falsafah dalam cerita meupun nilai seni rupa dalam bentuk
wayang itu sendiri. Karena dalam wayang sendiri selain mempunyai funsi sebagai
media hiburan juga mempunya fungsi agar para masyarakat serta generasi
muda Indonesia agar lebih mengerti nilai luhur, agung serta kearifan lokal di
dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amir,
Hazim. 1991. Nilai-nilai Etis dalam Wayang. Jakarta : Penebar Swadaya.
Bastomi,
Suwaji. 1995. Gemar Wayang. Semarang : Dahara Prize.
Mulyono,
Sri. 1982. Wayang Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta : Gunung Agung.
Bastomi,
Suwaji. 1995. Gemar Wayang. Semarang : Dahara Prize.
S,Haryanto.
1988. Sejarah dan Perkembangan Wayang. Jakarta : Djambatan
Soekatno.
1992. Mengenal Wayang Kuli Purwa.Semarang : Aneka Ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar