Bapak Sosiologi

Bapak Sosiologi
August Comte atau juga Auguste Comte (Nama panjang: Isidore Marie Auguste François Xavier Comte; lahir di Montpellier, Perancis, 17 Januari 1798 – meninggal di Paris, Perancis, 5 September 1857 pada umur 59 tahun) adalah seorang ilmuwan Perancis yang dijuluki sebagai "bapak sosiologi". Dia dikenal sebagai orang pertama yang mengaplikasikan metode ilmiah dalam ilmu sosial.

Rabu, 20 Juni 2012

KEARIFAN LOKAL DALAM WAYANG SEBAGAI WARISAN LELUHUR INDONESIA


ABSTRAK
Wayang merupakan  suatu kesenian klasik yang adiluhung, yang mempunyai berbagai jenis dan telah mengalami berbagai perkembangan dalam keberadaanya. Wayang mengandung isi yang tinggi nilai falsafahnya serta sifat-sifat rohaniah dan religiusnya. Budaya mencerminkan ”identitas dan jati diri bangsa”. Jadi sangatlah tepat jika seni budaya wayang kulit merupakan salah satu unsur budaya bangsa Indonesia, maka tidak salah jika UNESCO telah mengakui wayang sebagai ”Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity”. Wayang merupakan salah satu katrakteristik bangsa Indonesia yang harus selalu dilestarikan agar dapat terus dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Oleh  karena itu para generasi muda hendaknya ditanamkan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam wayang, baik berupa falsafah dalam cerita maupun nilai seni rupa dalam bentuk wayang itu sendiri. Dan wayang sendiri merupakan salah satu budaya yang ditujukan pada masyarakat serta generasi muda Indonesia agar lebih mengerti nilai luhur, agung serta kearifan lokal dibaliknya.
Latar Belakang
Wayang adalah salah satu kesenian yang telah ada di Indonesia sejak ajaran Hindhu masih tersebar di seluruh Nusantara. Wayang sendiri mengambil tokoh-tokoh dewa maupun ksatria yang ada dalam agama Hindhu dari India. Petunjukan wayang sampai pada hari ini sudah berumur lebih dari 3000 tahun atau konkritnya pertunjukan wayang ini sudah berumur  3512 tahun yaitu (±1500 SM – 2012). Walaupun pertunjukan wayang sudah berumur lebih dari 3000 tahun, namun masih tetap digemari dan tetap mendarah daging bagi bangsa Indonesia terutama di suku jawa. Wayang adalah seni pertunjukkan asli Indonesia yang berkembang pesat di Pulau Jawa dan Bali. Bahkan UNESCO sebagai lembaga yang membawahi kebudayaan dari PBB, pada 7 November 2003 menetapkan wayang sebagai pertunjukkan bayangan boneka tersohor dari Indonesia, sebuah warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Sebenarnya, pertunjukan boneka tak hanya ada di Indonesia. Banyak negara memiliki pertunjukkan boneka. Namun, pertunjukkan bayangan boneka (Wayang) di Indonesia memiliki gaya tutur dan keunikkan tersendiri, yang merupakan mahakarya asli dari Indonesia. Dan untuk itulah UNESCO memasukannya ke dalam Daftar Warisan Dunia pada tahun 2003.
            Wayang adalah seni dekoratif yang merupakan ekspresi kebudayaan nasional. Disamping merupakan ekspresi kebudayaan nasional juga merupakan media pendidikan, media informasi dan media hiburan. Wayang merupakan media pendidikan, karena ditinjau dari segi isinya banyak memberikan ajaran-ajaran kepada manusia sebagai anggota masyarakat. Jadi peran wayang dalam pendidikan yaitu terutama dalam pendididkan budi pekerti besar sekali gunanya. Sehingga wayang perlu dilestarikan dan dikembangakan lagi terutama wayang purwa. Wayang sebagai media hiburan, karena wayang dipakai sebagai pertunjukan di dalam berbagai macam keperluan sebagai hiburan. Selain dihibur para peminatdibudayakan dan diperkaya secara spiritual. Wayang sebagai media informasi, karena dari segi penampilannya sangat komunikatif dalam masyarakat. Dapat dipakai untuk memahami suatu tradisi, dapat dipakai sebagai alat untuk mengadakan pendekatan dengan masyarakat serta memberikan informasi mengenai masalah-masalah kehidupan dan segala seluk-beluknya.
            Wayang dapat dipakai sebagai sarana pendidikan terutama pendidikan mental karena di dalamnya benyak tersirat unsur - unsur pendidikan mental dan watak. Untuk membangun manusia seutuhnya, pembangunan mental adalah penting sekali. Oleh karena itu pengenalan nilai wayang terutama wayang purwa yang banyak orang mengatakan adalah kesenian klasik yang Adi luhung, perlu digalakan.”Mengapa wayang yang sudah lebih dari 3000 tahun masih tetap mendarah daging, digemari dan dhayati serta dijunjung tinggi oleh masyarakat?”.Jawabnya, karena pertunjukan wayang itu berisi hal-hal yang diperlukan dalam kehidupan manusia.. Baik dalam lapangan mental (batiniah) ataupun dalam lapangan mental (bathiniah). Gagasan tentang wayang telah ada sebelum kebudayaan Hindu masuk kejawa. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa wayang merupakan ciptaan asli orang Jawa. Dasar penciptaanya adalah kepercayann terhadap kekuatan gaib yang datang dari roh nenek moyang. Kepercayaan seperti itu disebut kepercayaan animisme.
Namun saat ini untuk pertunjukan wayang sendiri memang mengalami kemrosotan dalam hal penggemar oleh masyarakat kita terutama kaum muda, hal tersebut dikarena banyak pilihan hiburan lain. Mungkin wayang kulit mereka anggap membosankan. Seolah wayang kulit sudah memasuki masa sekarat. Sehingga wayang sebagai salah satu karakteristik bangsa Indonesia perlu dilestarikan agar tidak hilang terkena pengaruh perubahan zaman yang kian modern. Karena saat ini tak banyak lagi yang menggandrungi kesenian tradisional ini. Terlebih melestarikannya dengan mempelajari kesenian yang wayang ini. Yang menjadi pertanyaan apakah pengakuan atas warisan budaya ini bangsa Indonesia terutama generasi mudanya sendiri mengerti apa itu wayang dan filosofi dibaliknya? Padahal wayang merupakan salah satu budaya yang ditujukan pada masyarakat serta generasi muda Indonesia agar lebih mengerti nilai luhur, agung serta kearifan lokal dibaliknya.
Pembahasan
A.    Pengertian Wayang
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, pengertian wayang yaitu wayang merupakan boneka tiruan orang yg terbuat dari  pahatan kulit atau kayu dan sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh.  Kata wayang (bahasa Jawa), bervariasi dengan kata bayang, yang berarti bayangan, seperti halnya kata watu dan batu, yang berarti batu dan kata wuri dan buri, yang berarti belakang. Pengertian bayang-bayang/bayangan yang lain untuk menerangkan kata dan makna wayang itu dalam bahasa Jawa yang disebut sebagai ayang-ayang. Misalnya seseorang yang sedang berdiri atau duduk di suatu tempat, kemudian ia diterpa cahaya matahari yang mengenai badan orang itu, maka orang itu menghasilkan bayangan. Bayangan inilah yang kemudian oleh orang Jawa sering dinamakan ayang-ayang. Tentu saja panjang-pendeknya ayang-ayang tersebut sangat bergantung pada sudut posisi matahari. Apabila matahari dalam posisi rendah, maka bayangan orang itu menjadi panjang, dan apabila sudut matahari tinggi, bayangan semakin pendek.
Pengertian-pengertian wayang di atas lebih beroriantasi pada seni pertunjukan yang memperhatikan/menekankan pada efek yang dihasilkan pada suatu boneka atau sejenisnya setelah benda tersebut dikenal/disorot dengan cahaya yang datangnya dari sebuah lampu (blencong), yang kemudian menghasilkan suatu bayangan. Dari bayangan yang dihasilkan itu kemudian ditangkap oleh sekat, layar(kelir), yang akhirnya menghasilkan bayangan lagi di bagian belakang layar (dibalik kelir). Bila demikian maka terdapat dua bagian bayangan; yang pertama, bayangan di depan layar terjadi apabila boneka tersebut digerakkan menjauhi layar dan mendekati blencong, maka bayangan akan membesar baik didepan atau di belakang layar.
Disisi lain wayang merupakan seni dekoratif yang merupakan ekspresi kebudayaan nasional. Disamping merupakan ekspresi kebudayaan nasional juga merupakan media pendidikan, media informasi dan media hiburan. Wayang merupakan media pendidikan, karena ditinjau dari segi isinya banyak memberikan ajaran-ajaran kepada manusia sebagai anggota masyarakat. Jadi peran wayang dalam pendidikan yaitu terutama dalam pendididkan budi pekerti besar sekali gunanya. Sehingga wayang perlu dilestarikan dan dikembangakan lagi terutama wayang purwa. Wayang sebagai media hiburan, kerena wayang dipakai sebagai pertunjukan di dalam berbagai macam keperluan sebagai hiburan. Selain dihibur para peminatdibudayakan dan diperkaya secara spiritual. Wayang sebagai media informasi, karena dari segi penampilannya sangat komunikatif dalam masyarakat. Dapat dipakai untuk memahami suatu tradisi, dapat dipakai sebagai alat untuk mengadakan pendekatan dengan masyarakat serta memberikan informasi mengenai masalah-masalah kehidupan dan segala seluk-beluknya.
Secara fisik dunia pewayangan dilengkapi dengan layar (kelir) yang diibaratkan sebagai ruang (atara bumi dan langit), batang pisang (dhebog) sebagai bumi (tanah), dan lampu sebagai sinar matahari. Dalam dunia pewayangan pemrakarsanya disebut ”Ki Dalang”, sedangkan penata dan penabuh gamelan (musik) disebut niaga. Ki dalang memiliki makna seseorang yang mampu ngudal (telaah) piwulang (keilmuan), yaitu mengungkap pengetahuan, kisah-kisah dalam andegan lakon (ceritera) wayang.
B.     Jenis dan Perkembangan Wayang
Jenis wayang di Indonesia ada berbagai macam diantaranya yaitu wayang beber, wayang purwa, wayang madya, wayang gedog, wayang menak, wayang babad, wayang modern dan wayang topeng.Wayang Beber merupakan wayang yang paling tua usianya yang berasal dari zaman Hindu di Jawa. Pertunjukan wayang beber dilakukan dengan pembacaan cerita dan peragaan gambar-gambar yang melukiskan kejadian - kejadian atau adegan penting dalam cerita yang dimaksud yang terlukis pada kertas. Dan pada gulungan kertas tersebut menunjukan isi dari cerita yang akan dipentaskan. Pada saat ini pertunjukan wayang beber dapat dikatakan telah punah, karena lukisan mengenai wayang tersebut sudah tidak dibuat lagi sedang dalang-dalang untuk pementasannya sudah tidak diproduksi lagi. Wayang purwa ialah pertunjukan wayang yang pementasan ceritanya bersumber pada kitab Mahabharata atau Ramayana. Wayang purwa ini dapat berupa wayang kulit, wayang golek atau wayang wong (orang). Para ahli berpendapat bahwa istila purwa berasal dari kata”parwa” yang artinya bagian dari cerita Mahabharata atau Ramayana. Namun dikalangan masyarakat jawa terutama orang tua purwa sering diartikan purba atau zaman dahulu.
Wayang Madya yaitu wayang yang muncul setelah wayang purwa yang diciptakan atas gagasan Sri Mangkunegoro  yang menggambarkan wayang purwa pada badan-tengah sedang dari badan-tengah kebawah berwujud wayang gedog. Wayang ini memakai keris dan dibuat dari kulit, ditatah dan disungging. Dicipta pada waktu Pangeran Adipati Mangkunegoro IV (1843-1881) dan berusaha menggabungkan semua jenis wayang yang ada menjadi satu kesatuan yang berangkai serta semua disesuaikan dengan sejarah Jawa sejak beberapa abad yang lalu sampai masuknya agama Islam di Jawa yang diolah secara kronologis. Kemudian Wayang Gedog yang oleh sarjana-sarjana barat ditafsirkan sebagai kandang kuda (bahasa Jawa: gedogan = Kandang Kuda). Penafsiran lain ialah bahwa kata gedog tersebut merupakan batas antra siklus wayang Purwa yang mengambil seri cerita Mahabharata dan Ramayana dengan siklus Panji. Selain wayang Purwa, Madya dan Gedog, seniman-seniman Indonesia (Jawa) menciptakan berbagai wayang baru yang pementasannya bersumber pada cerita-cerita babad(sejarah) setelah masuknya agama Islam di Indonesia antara lain kisah-kisah kepahlawanan dalam masa Kerajaan Demak dan Pajang. Wayang-wayang tersebut disebut wayang babad atau wayang sejarah. Dan Pada Zaman Demak, Sunan Kalijaga menciptakab topeng yang mirip dengan wayang Purwa. Topeng tersebut diciptakan pada tahun 1586 (1508 Caka, dengan sengkalan: hangesti sirna yakseng bawana) yang hingga kini masih tersebar luas dan berkembang sebagai seni budaya tradisional dengan corak tersendiri. Penampilan wayang topeng ini dilakukan bersama dengan pentas wayang Purwa maupun Gedog, sehingga pertunjukan itu dikenal sebagai wayang topeng atau dengan sebutan daerah dimana topeng tersebut berkembang sepert Topeng Losari, Topeng Malang atau Topeng Madura.
Perkembangan wayang biasa disusun berdasarkan suatu periodisasi. Berdasarkan Sumber karangan Mulyono (1978: 296-306) perkembangan wayang di Indonesia dibagi menjadi 5. Yang pertama zaman prasejarah bahwa pertunjukan wayang yang mula-mula berfungsi magis-mitos-religius, sebagai upacara pemujaan pada arwah nenek moyang yang disebut “hyang”. Kedatangan arwah nenek moyang ini diwujudkan dalam bentuk bayangan, dan mereka datang oleh karena diminta memberikan restu atau pertolongan. Pada zaman ini belum terdapat kepustakaan wayang sehingga cerita secara lisan diturunkan dari generasi ke generasi. Kedua zaman Mataram I yang pada zaman ini tidak hanya berfungsi magis-mitos-religius, tetapi juga sebagai alat pendidikan dan komunikasi. Cerita diambil dari “Ramayana” dan “Mahabharata” yang sudah diberi sifat local dan bercampur mitos kuno tradhisional (pahlawan-pahlawan dalam kitab-kitab itu menjadi pahlawan-pahlawan dan dewa-dewa mereka, sejajar dengan nenek moyang mereka sendiri).
 Ketiga yaitu pada zaman Jawa Timur yang pada zaman ini  sudah mencapai bentuk sempurna, sehingga dapat mengharukan hati para penontonnya. Pertunjukan wayang pada zaman ini dilakukkan pada malam hari dirumah-rumah atau tempat yang dianggap keramat oleh seorang sakti, kepala keluarga, atau kadang raja sendiri. Bahasa yang digunakan Bahasa Jawa Kuno dengan kata-kata Sanskerta. Yang keempat zaman kedatangan Islam, yaitu wayang berfungsi sebagai alat dakwah, pendidikan dan komunikasi, sumber sastra dan budaya dan sebagai hiburan. Cerita diambil dari cerita Babad, yakni percampur adukan antara epos Ramayana/Mahabharata versi Indonesia dengan cerita-cerita Islam atau Arab. Wayang berbentuk pipih menyerupai bentuk bayangan seperti yang kita lihat sekarang. Pertunjukan dipimpin oleh seorang dalang dan pertunjukan dilakukkan pada saat malam hari selama semalam penuh dengan bahasa Jawa Tengahan.
Yang terakhir yaitu pada zaman Indonesia Merdeka, yang pada zaman ini wayang merupakan suatu pertunjukan kesenian. Suatu seni teater total yang berfungsi tidak hanya sebagai hiburan semata tetapi juga untuk pendidikan, komunikasi massa, pendidikan kesenian, pendidikan sastra, filsafat, agama dan lain-lainnya. Dan pada zaman ini wayang-wayang baru mulai dipertunjukan seperti wayang Suluh, Pancasila dan perjuangan (±1947), wayang wahyu (±1969), wayang berbahasa Indonesia dan lain-lain.
C.    Nilai Kearifan Lokal Dalam Wayang
Seni pewayangan merupakan salah satu seni budaya bangsa yang adiluhung, dimasa keemasannya media wayang ini menjadi corong untuk menginformasikan dan mensosialisasikan banyak hal yang berhubungan dengan masalah tata laku kehidupan yang terjadi pada eranya masing-masing. Pepatah bahwa kuncaraning bangsa gumantung ana kaluhuring budaya, kini memiliki makna strategis karena budaya mencerminkan ”identitas dan jatidiri bangsa”. Jadi sangatlah tepat bahwa seni budaya wayang kulit yang merupakan salah satu unsur budaya bangsa Indonesia, telah diakui oleh UNESCO sebagai ”Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity”. Wayang merupakan salah satu karakteristik bangsa Indonesia yang harus selalu dilestarikan agar dapat terus dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.
Filosofi (filsafat) wayang, sastra dan negara secara umum sering diartikan sebagai pemahaman makna dunia pewayangan yang sangat mendalam, serta memiliki latar belakang realitas arti hidup dan kehidupan dalam dunia pewayangan. Filsafat dunia pewayangan dapat ditemukan di 3 lapisan yaitu: (a) ajaran, (b) sosok dan karakter tokoh, serta (c) keyakinan dan pandangan-pandangannya. Ajaran-ajaran dan atau wejangan merupakan tatanan khas jawa yang spesifik untuk menyampaikan amanah dan petuah yang sekaligus memuat kebijaksanaan eksistensi manusia. Karakter dan kekuatan sosok dalam dunia pewayangan cukup beragam seperti Pandawa, Kurawa, Pancawati dan Ngalengkadireja. Demikian halnya dengan peran punakawan seperti Semar dan atau Togog. Berbeda halnya dengan pemahaman makna keyakinan dan pandangan dalam dunia pewayangan yang pada akhirnya diperolehnya istilah ”becik ketitik ala ketara; sapa gawe bakal nganggo”. Selain itu wayang juga dapat dipakai sebagai sarana pendidikan terutama pendidikan mental karena di dalamnya benyak tersirat unsure - unsur pendidikan mental dan watak. Untuk membangun manusia seutuhnya, pembangunan mental merupakan salah satu masalah utama. Oleh karena itu pengenalan nilai wayang terutama wayang purwa yang banyak orang mengatakan adalah kesenian klasik yang Adi luhung, perlu digalakan. Karena itu, dapat digunakan sebagai salah satu media dalam upaya untuk mengubah tingkah laku atau sikap seseorang dalam rangka mendewasakan manusia. Cerita wayang bukan saja merupakan salah satu sumber pencarian nilai-nilai bagi kelangsungan hidup masyarakat, namun juga sebagai wahana atau alat pendidikan. Sebagai alat pendidikan, wayang menawarkan ajaran dan nilai-nilai yang tidak secara dogmatis sebagai indotrinasi. Terserah penikmat menafsirkan, menilai, dan memilih nilai-nilai itu. Karena itu, satu sisi tokoh Kumbakarna bisa dinilai sebagai pengkhianat karena berpihak kepada Rahwana kakak kandungnya yang menculik Dewi Sinta, namun di sisi lain dia bisa dinilai sebagai pahlawan karena jiwa patriotiknya membela Tanah Airnya. Ajaran dan nilai-nilai tersebut juga dihadirkan melalui tokoh-tokoh tertentu seperti Bambang Sumantri yang patriotik, atau Puntadewa yang ,ukhlis, dan Dewi Sembadra yang feminis. 
Karena cerita wayang merupakan wahana atau alat pendidikan, wayang merupakan wahana bagi proses sosialisasi ataupun enkulturasi. Bahkan dengan proses sosialisasi, wayang mengemban fungsi edukatif mempersiapkan anggota masyarakat agar mampu memainkan peran-peran sosial sesuai dengan pilihan hidupnya, dengan jalan mengembangkan sikap mental, menanamkan nilai-nilai dan kemampuan mengendalikan diri, dan memberikan orientasi pemahaman. Wayang merupakan salah satu wahana untuk mendewasakan manusia secara sosial (maturasi), sebagaimana yang diharapkan oleh Begawan Abiyasa kepada para Pandawa lewat adegan wejangan-nya. Karena itu, cerita wayang merupakan cerita didaktik yang didalamnya memuat ajaran budi pekerti yang menyiratkan tentang perihal moral. Bidang yang bersifat normatif, yang bersangkutan dengan kesusilaan atau akhlak yang merupakan salah satu bidang filsafat yang disebut “etika”, dalam hal ini etika memberi nilai buruk atau baik atas perbuatan seseorang.
Wayang diartikan sebagai bayang (bayangan), sehingga memiliki dua makna yaitu: (a) bayangan yang ditonton (dilihat dari belakang layar), dan (b) melihat bayangan perilaku kehidupan manusia yang memberikan pemahaman antara perilaku yang baik dan buruk. Kedua perilaku tersebut secara fisik (bentuk dan norma wayang) juga terlihat secara jelas. Kemudian melalui penggambaran muka wayang ada yang berwarna hitam, merah, dan atau hijau keungguan. Muka wayang berwarna hitam menunjukkan seorang kesatria yang memiliki kemantapan diri sebagai panutan (kesatria), berbeda dengan muka wayang berwarna merah menunjukkan seorang yang memiliki panutan sebagai punggawa atau manggala. Selain muka wayang, ciri spesifik wayang juga ditandai oleh lengan wayang. Ada wayang yang lengannya (tangan) dua (normal), ada wayang dengan dua tangan, akan tetapi satu tangannya masuk ke dalam saku (bala buta), dan seterusnya, yang mencirikan makna yang berbeda.
Dari wayang sendiri, kita dapat melihat struktur sikap, kata, dan perbuatan seseorang, jujur dan tidak jujur,  lugu dan tidak lugu,  baik dan tidak baik,  dengki dan iri dan tidak iri yang seluruhnya dapat dibaca dengan jelas lewat sikap, kata, dan perbuatannya. Dalam hal pengajaran nilai-nilai, wayang juga berfungsi dalam menanamkan budi luhur kepada para penonton maupun masyarakat sebagai penikmat wayang. Sedangkan budi luhur adalah nilai-nilai luhur yang tercipta dari cipta rasa karsa seseorang. Ia karena masih berupa nilai jadi lebih merupakan sekumpulan nilai-nilai tertentu, belum dioperasionalkan kedalam kenyataan hidup. Nilai-nilai itu bisa bersumber dari kitab-kitan suci, kitab-kitab piwulang, kitab-kitab ideologi, temuan sendiri dsb, yang ditata rapi dalam struktur yang indah. Untuk dipekertikan dalam kehidupan nyata atau untuk dijadikan budi pekerti dibutuhkan latihan-latihan, teori dan praktek dengan kata lain budi luhur masih terletak diawang-awang, sedangkan budi pekerti telah dioperasionalkan dalam kenyataan hidup sehari-hari.
Dalam dunia pewayangan sendiri terdapat tokoh-tokoh khususnya dari Pandawa yang memberikan keteladanan dibidang tata kelakuan hidup. Laku hidup sebagaimana dicontohkan oleh tokoh-tokoh Pandawa lebih mencerminkan tokoh-tokoh yang mengutamakan laku hidup yang berakhir dengan pencapaian keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia bahkan di akhirat. Tidak terbilang banyaknya contoh-contoh laku hidup yang dijalankan, perintah Durna yang penuh tipu muslihat, akhirnya Bima tanpa diduga justru berhasil menemukan Tirta Pawitrasari (Tirta Pawitradi atau Tirta Merta), yaitu ilmu hidup yang menerangkan tentang cara memanunggalkan diri atau mendekatkan diri dengan Tuhannya.
Oleh karena budi itu pekerti yang terdapat atau disampaikan dalam wayang harus dijalankan dan dihayati, karena penghayatan dalam hal penanaman budi pekerti merupakan satu hal utama dalam upaya penerapan hal tersebut. Banyak orang yang tekun melaksanakan budi pekerti tanpa ingin diketahui orang lain apalagi pamer. Orang-orang seperti itu terdapat umumnya justru di desa-desa atau kalaupun di kota-kota orang-orang seperti itu lebih bersikap diam dalam pengertian menikmati dan menjalankan hidup dengan sepenuh hati. Karena dalam masyarakat desa sendiri masih memiliki nilai-nilai adat yang mereka pegang teguh sehingga tidak mudah terkontaminasi oleh pengaruh luar. Mereka dalam kesulitan ekonomi yang begitu dahsyat seperti sekarang selalu berusaha untuk menjalankan penghidupannya dengan apa adanya sdan selalu memohon kepada Tuhan yang Maha Esa dengan pemahaman jangan sampai langkah-langkah hidupnya terkontaminasi dengan pemikiran-pemikiran yang tidak baik, misalnya antara lain, menipu, mencuri dsb. Ajaran Malima (tidak main, berjudi, tidak maling (mencuri), tidak madat (narkoba, narkotik dsb), tidak madon (main perempuan), dan tidak minum (minum-minuman keras) secara tidak langsung hal tersebut haruslah dihayati dengan kesadaran penuh. Yang dalam hal ini tokoh pandawa merupakan tokoh yang pantas dan patuh diteladhani dalam berperilaku maupun bertutur kata dalam masyarakat. Karena dalam tokoh pandawa yang dilakonkan dalam wayang selalu menunjukan perilaku baik, berani membela kebenaran, jujur dan dalam bertutur kata selalu sopan dan halus serta tidak pernah menyakiti orang lain dari ucapannya.
Maka dalam hal ini wayang sangat berfungsi dalam proses sosialisasi yang ada dalam masyarakat. Yaitu dalam proses mengajarkan nilai dan norma yang ada dalam masyarakat dalam bentuk pagelaran yang berisi cerita. Dan dalam nilai dan norma yang ada dalam pagelaran wayang selalu menggambarkan nilai dan norma yang dijunjung tinggi dalam masyarakat Indonesia. Dalam pagelaran wayang juga digambarkan bahwa perilaku yang buruk atau jahat tidak akan mendapat sesuatu yang baik dan tokoh jahat akan selau kalah. Oleh karena itu wayang yang lewat tokoh-tokoh didalamnya dapat memberi contoh perilaku langsung tentang mana yang baik dan mana yang buruk, mana sikap yang pantas ditiru atau tidak pantas ditiru dari tokoh-tokoh tersebut. Semuanya tertuang dalam satu pementasan wayang. Dengan demikian maka dapat dipahami, bahwa kearifan lokal yang merupakan gagasan-gagasan atau nilai-nilai, pandangan-padangan setempat atau (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya tertuang dalam suatu prosesi atau dalam suatu pementasan pewayangan. Dan di sini nilai-nilai budi pekerti dalam berperilaku maupun bertutur kata yang diconntohkan melalui tokoh dalam pewayangan harus dijalankan dan dihayati oleh masyarakat Indonesia khususnya di Jawa. Karena nilai yang terkandung dalam wayang ini merupakan nilai luhur yang telah diturunkan secara turun temurun oleh para pendahulu kita dan merupakan nilai-nilai asli masyarakat jawa. Sehingga wayang harus dilestarikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia agar nilai budaya maupun nilai-nilai kehidupan yang ada dalam wayang tidak hilang dan luntur akibat modernisasi dan globalisasi pada jaman sekarang ini.
Kesimpulan
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa wayang itu da berbagai jenis seperti yaitu wayang beber, wayang purwa, wayang madya, wayang gedog, wayang menak, wayang babad, wayang modern dan wayang topeng  yang semuanya itu beserta pagelarannya diciptakan oleh bangsa Indonesia di jawa pada zaman prasejarah. Semula bangsa Indonesia masih berpahan animism yang mula-mula berfungsi magis-mitos-religius, sebagai upacara pemujaan pada arwah nenek moyang yang disebut “hyang”. Kedatangan arwah nenek moyang ini diwujudkan dalam bentuk bayangan, dan mereka datang oleh karena diminta memberikan restu atau pertolongan. Namun Sekarang ini fungsi wayang telah berubah taitu sebagai hiburan,sarana pendidikan, komunikasi massa, pendidikan kesenian, pendidikan sastra, filsafat, agama dan lain-lainnya.
Wayang merupakan  suatu kesenian klasik yang adiluhung, karena mengandung isi yang tinggi nilai falsafahnya serta sifat-sifat rohaniah dan religiusnya. Budaya mencerminkan ”identitas dan jatidiri bangsa”. Jadi sangatlah tepat jika seni budaya wayang kulit merupakan salah satu unsur budaya bangsa Indonesia, maka tidak salah jika UNESCO telah mengakui wayang sebagai ”Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity”. Wayang merupakan salah satu katrakteristik bangsa Indonesia yang harus selalu dilestarikan agar dapat terus dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Oleh  karena itu para generasi muda hendaknya ditanamkan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam wayang, baik berupa falsafah dalam cerita meupun nilai seni rupa dalam bentuk wayang itu sendiri. Karena dalam wayang sendiri selain mempunyai funsi sebagai media hiburan juga mempunya fungsi agar para masyarakat serta generasi muda Indonesia agar lebih mengerti nilai luhur, agung serta kearifan lokal di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA

Amir, Hazim. 1991. Nilai-nilai Etis dalam Wayang. Jakarta : Penebar Swadaya.
Bastomi, Suwaji. 1995. Gemar Wayang. Semarang : Dahara Prize.
Mulyono, Sri. 1982. Wayang Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta : Gunung     Agung.
Bastomi, Suwaji. 1995. Gemar Wayang. Semarang : Dahara Prize.
S,Haryanto. 1988. Sejarah dan Perkembangan Wayang. Jakarta : Djambatan
Soekatno. 1992. Mengenal Wayang Kuli Purwa.Semarang : Aneka Ilmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar